Program
penanggulangan sampah di Kelurahan Namosain , melalui program yang berbentuk bantuan
langsung masyarakat, merupakan bentuk paradigma program pembangunan dengan mengedepankan
partisipasi masyarakat. OKI… Diperlukan
upaya mengeser paradigma pembangunan yang bertumpu pada peran pemerintah semata
(state
centre) kearah paradigma pembangunan masyarakat (people
centre).
Strategi Pemerintah
Kelurahan Namosain dalam penanggulangan sampah, dengan melakukan penguatan kelembagaan masyarakat melaui
peran para ketua RT/RW, LPM, lembaga
adat, karang taruna dan PKK dengan melakukan pendekatan budaya sesuai cultur
masyarakat local terutama kepada para ketua adat atau mane leo.
Keberdayaan
kelembagaan masyarakat tersebut, bertujuan menciptakan kemandirian dan
keberkelanjutan
kemampuan menyampaikan aspirasi serta kebutuhan berkaitan dengan
kebijakan publik di
tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk
penanggulangan
sampah pada daerah perumahan dan permukiman.
Hasil Identifikasi
memperlihatkan bahwa Program Penanggulangan sampah dalam aspek sosial, ekonomi
dan lingkungan masih menghadapi beberapa masalah dalam pelaksanaannya.
Permasalahan tersebut adalah antara lain:
Dinamika
sosial-ekonomi dan lingkungan masyarakat, menghasilkan variasi dan
karakteristik
masyarakat, yang berbeda-beda. Di satu sisi menghasilkan masyarakat yang
fatalis (pasrah pada nasib), disisi yang lain, menghasilkan masyarakat
pejuang (fighting spirit yang tinggi). Kondisi tersebut terkesan diabaikan dan belum
terakomodasi dalam perencanaan program.
Variasi dan
karakteristik masyarakat yang berbeda tersebut, berimplikasi pada partisipasi
dan etos kerja
masyarakat di lapangan, bisa jadi di karakter masyarakat tertentu Program
pengelolaan sampah dianggap
berhasil karena antusiasme masyarakat yang tinggi.
Sebaliknya pada karakter masyarakat tertentu lainnya justru dianggap memberikan
ketergantungan pada sistim penanganan sampah yang dilakukan oleh pemerintah.
Mengapa penanganan masalah sampah kelurahan di Kota Kupang (dan juga di
berbagai tempat di Indonesia) terasa begitu lamban? Kalau memang bisa dikatakan
pemerintahnya tidak serius, mengapa mereka tidak serius? Mengapa masalah sampah
seolah menjadi “lingkaran setan”, kian lama kian tak jelas di mana dan kapan
berakhirnya? Jika ada pemerintah daerah atau pihak-pihak berwenang lainnya, yang
serius menangani sampah, mengapa sampah tetap juga jadi masalah? Kalau kita
berkata, “Karena masyarakat tetap membuang sampah sembarangan”, mengapa begitu?
Hal tersebut berpengaruh pada belum maksimalnya pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Hasil di lapangan dapat ditingkatkan dengan melihat strategi pemberdayaan, dalam mendayagunakan seluruh potensi dan sumberdaya lokal termasuk sumberdaya manusia, alam, teknologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Adapun prosesnya dimulai dari tahap internalisasi, pelembagaan, dan keberlanjutan, dimana pada tahap keberlanjutan terdapat strategi penyiapan masyarakat untuk mendorong keberlanjutan pengelolaan sampah secara mandiri. Diperlukan pengembangan pada model pengelolaan yang terdapat pada Pola pikir. Paradigma.
Hal tersebut berpengaruh pada belum maksimalnya pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Hasil di lapangan dapat ditingkatkan dengan melihat strategi pemberdayaan, dalam mendayagunakan seluruh potensi dan sumberdaya lokal termasuk sumberdaya manusia, alam, teknologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Adapun prosesnya dimulai dari tahap internalisasi, pelembagaan, dan keberlanjutan, dimana pada tahap keberlanjutan terdapat strategi penyiapan masyarakat untuk mendorong keberlanjutan pengelolaan sampah secara mandiri. Diperlukan pengembangan pada model pengelolaan yang terdapat pada Pola pikir. Paradigma.
Itulah akar paling mula dari permasalahan sampah. Apa yang salah?
Kesalahannya adalah: kita memandang kebersihan dan sampah sebagai bukan masalah
serius. “Serius” di sini berarti menyangkut masalah hidup-mati, selamat-tidak
selamat, sakit-sehat, sejahtera-menderita, sentosa-prahara. Secara kognitif,
memang, hampir semua kita tahu bahwa kebersihan itu penting dan sampah itu
harus ditangani dengan benar. Tapi itu hanya sebatas pengetahuan, tidak lebih.
Belum menjadi pembentuk pola pikir, pola perasaan, dan pola laku. Dan, yang
jelas, belum menjadi karakter. Sebab, paradigma kita masihlah menganggap
kebersihan itu ada di urutan prioritas bawah, dan sampah itu bukanlah sesuatu
yang harus benar-benar dikelola (baik secara pribadi per individu, maupun
secara kolektif per instansi dan komunitas) secara serius yang menjadi acuan bagi kita, sehingga mekanisme pemberdayaan yang
berjalan dapat lebih optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar