Minggu, 16 Februari 2014

Strategi Penanggulangan Sampah di Kelurahan Namosain



STRATEGI PENANGGULAN SAMPAH
                  DI KELURAHAN NAMOSAIN

             Oleh : Lurah Namosain * Rofinus Markus, S.Pt





Program penanggulangan sampah di Kelurahan Namosain , melalui program yang berbentuk bantuan langsung masyarakat, merupakan bentuk paradigma program pembangunan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat.  OKI… Diperlukan upaya mengeser paradigma pembangunan yang bertumpu pada peran pemerintah semata (state centre) kearah paradigma pembangunan masyarakat (people centre).

Strategi Pemerintah Kelurahan Namosain dalam penanggulangan sampah, dengan melakukan penguatan kelembagaan masyarakat melaui peran para ketua RT/RW,  LPM, lembaga adat, karang taruna dan PKK dengan melakukan pendekatan budaya sesuai cultur masyarakat local terutama kepada para ketua adat atau mane leo.

Keberdayaan kelembagaan masyarakat tersebut, bertujuan menciptakan kemandirian dan
keberkelanjutan kemampuan menyampaikan aspirasi serta kebutuhan berkaitan dengan
kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk
penanggulangan sampah pada daerah perumahan dan permukiman.

Hasil Identifikasi memperlihatkan bahwa Program Penanggulangan sampah dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan masih menghadapi beberapa masalah dalam pelaksanaannya. Permasalahan tersebut adalah antara lain:
Dinamika sosial-ekonomi dan lingkungan masyarakat, menghasilkan variasi dan
karakteristik masyarakat, yang berbeda-beda. Di satu sisi menghasilkan masyarakat yang
fatalis (pasrah pada nasib), disisi yang lain, menghasilkan masyarakat pejuang (fighting spirit yang tinggi). Kondisi tersebut terkesan diabaikan dan belum terakomodasi dalam perencanaan program.

Variasi dan karakteristik masyarakat yang berbeda tersebut, berimplikasi pada partisipasi
dan etos kerja masyarakat di lapangan, bisa jadi di karakter masyarakat tertentu Program
pengelolaan sampah dianggap berhasil karena antusiasme masyarakat yang tinggi. Sebaliknya pada karakter masyarakat tertentu lainnya justru dianggap memberikan ketergantungan pada sistim penanganan sampah yang dilakukan oleh pemerintah.
Mengapa penanganan masalah sampah kelurahan di Kota Kupang (dan juga di berbagai tempat di Indonesia) terasa begitu lamban? Kalau memang bisa dikatakan pemerintahnya tidak serius, mengapa mereka tidak serius? Mengapa masalah sampah seolah menjadi “lingkaran setan”, kian lama kian tak jelas di mana dan kapan berakhirnya? Jika ada pemerintah daerah atau pihak-pihak berwenang lainnya, yang serius menangani sampah, mengapa sampah tetap juga jadi masalah? Kalau kita berkata, “Karena masyarakat tetap membuang sampah sembarangan”, mengapa begitu?
Hal tersebut berpengaruh pada belum maksimalnya pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Hasil di lapangan dapat ditingkatkan dengan melihat strategi pemberdayaan, dalam mendayagunakan seluruh potensi dan sumberdaya lokal termasuk sumberdaya manusia, alam, teknologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Adapun prosesnya dimulai dari tahap internalisasi, pelembagaan, dan keberlanjutan, dimana pada tahap keberlanjutan terdapat strategi penyiapan masyarakat untuk mendorong keberlanjutan pengelolaan sampah secara mandiri. Diperlukan pengembangan pada model pengelolaan yang terdapat pada Pola pikir. Paradigma.
Itulah akar paling mula dari permasalahan sampah. Apa yang salah? Kesalahannya adalah: kita memandang kebersihan dan sampah sebagai bukan masalah serius. “Serius” di sini berarti menyangkut masalah hidup-mati, selamat-tidak selamat, sakit-sehat, sejahtera-menderita, sentosa-prahara. Secara kognitif, memang, hampir semua kita tahu bahwa kebersihan itu penting dan sampah itu harus ditangani dengan benar. Tapi itu hanya sebatas pengetahuan, tidak lebih. Belum menjadi pembentuk pola pikir, pola perasaan, dan pola laku. Dan, yang jelas, belum menjadi karakter. Sebab, paradigma kita masihlah menganggap kebersihan itu ada di urutan prioritas bawah, dan sampah itu bukanlah sesuatu yang harus benar-benar dikelola (baik secara pribadi per individu, maupun secara kolektif per instansi dan komunitas) secara serius yang menjadi acuan bagi kita, sehingga mekanisme pemberdayaan yang berjalan dapat lebih optimal.

Sekian………………………………………………………………………….